Kemarin sore saat aku menunggu waktu
berbuka bersama sahabatku, aku menemukan sekumpulan ibu-ibu yang membincangkan
tentang nilai rapor anak mereka. Dan terdapat hal yang menarik di dalam
perbincangan mereka, yang dimana mereka membicarakan seorang anak yang pernah
menjuarai perlombaan renang tingkat provinsi tetapi semua nilai rapornya adalah
hasil katrolan (nilai jelek tapi dibuat baik karena kasihan). Dan salah seorang
diantara mereka ada yang membandingkan dengan anaknya yang mendapat nilai 9 di
mata pelajaran IPA, Matematika, dan Bahasa Inggris. Sehingga anak yang
menjuarai perlombaan renang tadi di cap sebagai anak yang bodoh.
Sesaat aku melepas jaket biruku
sembari berfikir, kenapa anak itu harus dipanggil anak yang bodoh, padahal dia
pernah menjuarai perlombaan renang tingkat provinsi? Dan kenapa anak sang ibu
yang mendapat nilai 9 dimata pelajaran IPA, Matematika, dan bahasa inggris itu
dicap sebagai anak yang pandai? Ini memang kegelisahanku sejak lama. Aku sudah
muak dengan anggapan sebagian besar masyarakat saat ini.
Seorang jago fisika, akan dinilai
sebagai champion, sebagai bintang kelas, dan predikat si pintar dengan
sendirinya akan melekat. Sementara, siswa yang nilai keseniannya 9, dan jeblok
di bidang studi yang menjadi spesialisasi Albert Einstein itu, dianggap sebagai
si bodoh. Meskipun ia mampu menciptakan karya-karya seni yang spektakuler,
tetap saja ia dinilai sebagai si goblok nan begok.
Aku ingin mengubah image ini. Aku
ingin membuat sebuah penyadaran, pemahaman, dan pemberian motivasi dosis
tinggi, yang membuat seseorang dengan bangga menyebutkan
“saya kuliah di jurusan kesenian”
“saya kuliah di jurusan PKK, tata
boga”
Setiap orang pasti memiliki potensi
didalam dirinya. Dan potensi pada manusia terdapat beberapa kecenderungan dalam
bidang tertentu. Manusia adalah makhluk yang sangat unik, satu sama lain
berbeda, demikian juga dengan potensi yang dimiliki. Sayangnya, pengelolaan manusia
seringkali disamakan dengan mesin, alias seragam. Sistem pendidikan di negara
kita misalnya, lebih menekankan pada calistung (baca-tulis-berhitung). Hanya
tipe kecerdasan bahasa (word smart) dan kecerdasan logika matematika yang
dikembangkan. Padahal, menurut Howard Gardner, ada 8 jenis kecerdasan sebagai
berikut:
1. Word smart – kecerdasan dalam
mengelola kata
2. Picture smart - kecerdasan dalam mempersepsikan apa yang
dilihat
3. Music smart – kecerdasan dan kepekaan
terhadap musik
4. Logic smart – kecerdasan dalam sains
dan matematika
5. Nature smart – kecerdasan dalam
mengamati alam
6. People smart – kecerdasan dalam
memahami pikiran dan perasaan orang lain
7. Self smart – kecerdasan dalam
mengenali emosi diri sendiri
8. Body smart – kecerdasan dalam
keterampilan olah tubuh dan gerak
Dalam perkembangannya para pakar
menambahkan kecerdasan ke 9, yaitu kecerdasan spiritual. Namun, kecerdasan
spiritual tidak termasuk kecerdasan majemuk. Karena, kecerdasan spiritual
menjadi kendali dari berbagai potensi yang kita miliki agar berjalan harmonis
dengan Allah sebagai pusat dari optimalisasi potensi tersebut.
Konsep kecerdasan ini mampu
menerangkan, bahwa definisi cerdas sesungguhnya tak sesempit yang kita bayangkan selama ini. Kita
menganggap orang yang cerdas adalah yang kuat dalam bidang matematika, sains,
atau bahasa. Sementara, orang yang memiliki bakat yang luar biasa di bidang
seni dan olahraga misalnya, sering dipandang sebelah mata. Kata pintar dan
bodoh diperoleh dengan asumsi-asumsi yang sangat sempit. Dan “cap” yang diberikan
kepada mereka, akhirnya justru membangun mereka sebagai sosok yang senada
dengan “cap”nya. Si pintar semakin “keminter” dan meremehkan orang lain.
Sementara si bodoh dan si nakal, akan semakin tenggelam dalam kebodohan dan
kenakalannya.
Adanya konsep kecerdasan ini menjadi
dasar pemikiran bahwa setiap manusia sesungguhnya memiliki keunikan tersendiri
yang berbeda satu sama lain. Kita tidak bisa mendefinisikan manusia cerdas dari
asumsi yang seragam. Setiap orang akan memiliki keunggulan yang berbeda-beda
bidangnya. Seorang profesor di bidang kedokteran tidak bisa mengatakan Cristiano
Ronaldo sebagai orang bodoh meskipun pendidikannya tidak secemerlang sang
profesor, karena Ronaldo memiliki kebintangan di bidang yang lain, yakni
olahraga, khususnya sepak bola. Demikian juga, seorang sarjana matematika yang
IPK-nya cum laude, tidak bisa menuding seorang gitaris yang berkali-kali
mendapatkan penghargaan dari blantika musik negeri sebagai orang yang tolol,
hanya gara-gara nilai matematika si gitaris itu hanya mendapat kursi terbalik
alias angka empat.
Adanya dominasi bidang-bidang
tertentu didunia pendidikan, seperti peng-anakemasan mata pelajaran sains,
matematika, dan bahasa telah membuat seseorang dinilai cerdas hanya jika mata
pelajaran tersebut diatas mendapat nilai 8,9, atau 10. Siapa yang akan
menghargai seorang murid yang pelajaran olahraga dan keseniannya mendapat nilai
10,misalnya?
Bisa dibayangkan, karena adanya
dominasi tersebut seorang anak SMA yang berbakat sepak bola, bisa saja
meninggalkan dunianya hanya karena tak mau tidak lulus sekolah jika fisika-nya
tidak bisa mencapai 5. Padahal, usaha agar fisika-nya dapat angka 5 yang ia
lakukan, barangkali sama dengan ia berlatih untuk bisa menembus sebagai pemain
utama tim nasional U-17. Pantas saja dunia olahraga negeri kita belum banyak
melahirkan bintang-bintang kelas dunia.
Maka dari itu memanfaatkan potensi
dalam diri sangatlah penting. Jika seseorang mampu memanfaatkannya dengan baik
dan tepat maka ia akan menjadi si “pemenang”, dan jika seseorang tidak mampu
memanfaatkan potensinya bahkan membiarkannya, mau tidak mau dia akan menjadi si
“pecundang”. Mungkin perkataan Stephen R. Covey bisa di jadikan bahan renungan,
“orang yang tidak efektif, hidup dari hari ke hari dengan potensi yang tak termanfaatkan.”
Dan ketidakefektifan hidup,
seringkali menjadi beban tersendiri, yang membuat kita seakan-akan hidup dalam
genangan kesulitan. Kita mengalami banyak masalah, namun tak pernah sekalipun,
mendata masalah tersebut, merasionalkan dan mencoba mengakumulasi berbagai
solusi yang mungkin bisa mengatasi masalah tersebut. Bahkan bisa jadi, kita
adalah masalah itu sendiri. Kalaupun daftar solusi sudah kita miliki, bisa jadi
kita enggan untuk mengaplikasikannya dalam wujud laku yang nyata.
Ketidaktermanfaatkannya potensi
adalah problem serius yang akan membayangi kehidupan seorang manusia. Dia akan
terjebak dalam kubangan apatisme, yang membuat hari-harinya terasa suram. Ia
hidup tanpa target, padahal targetlah yang membuat hidup penuh warna, penuh
inspirasi, penuh geliat, penuh gairah dan semangat.
Orang-orang yang mengasah potensinya,
lantas mengaplikasikannya, dan senantiasa menajamkannya, serta mencharge ketika
raga pemilik potensi itu mengalami low bat alias kejenuhan, akan memandang
dirinya sebagai subjek, bukan objek. Ketika dunia, yang merupakan objek dalam
pandangan mereka mengalami suatu hal yang tak sesuai dengan yang mereka
inginkan, maka dengan penuh semangat, mereka akan mengubah keadaan. Dan jika
mereka tidak sanggup merubahnya, maka mereka akan merubah cara pandang mereka
akan objek tersebut, sehingga terciptalah sinkronisasi. Alangkah berbahagianya,
karena hidup mereka benar-benar menjadi hidup.
Sementara, manusia-manusia yang
menjalani hidup dengan mengabaikan kekuatan yang sebenarnya mereka miliki, akan
menjadikan dirinya sebagai objek dan dunialah subjeknya. Ia hanya menurut saja
ketika dunia mengombang-ambingkanya. Dan ia akan menikmati posisinya sebagai
korban membiarkan dirinya berkubang dalam keterpurukan atas nama sebuah
ketawakalan. Padahal menurut Rasulallah, “ikatlah keledaimu, dan
bertawakallah.....”
Artinya, berusahalah sekuat
kemampuanmu dan baru setelah ikhtiar kita sempurna, kita bertawakal kepada
Allah akan hasilnya. Jadi, bagaimana kita bisa menjadi subjek dari sebuah
peradaban?
Oke akan kuberitahu...! “Mulai dari
merubah paradigma. Merubah cara berfikir kita. The world we have created is
product of our way of thinking. Oleh karenanya mari kita terapkan 3
langkah sederhana ini. Think big, start small, act now! Berpikir besar, mulai
dari yang sederhana, dan lakukan sekarang juga!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar