Kamis, 10 Juli 2014

Potensi Diri :Kenali , Tekuni, Kembangkan


Kemarin sore saat aku menunggu waktu berbuka bersama sahabatku, aku menemukan sekumpulan ibu-ibu yang membincangkan tentang nilai rapor anak mereka. Dan terdapat hal yang menarik di dalam perbincangan mereka, yang dimana mereka membicarakan seorang anak yang pernah menjuarai perlombaan renang tingkat provinsi tetapi semua nilai rapornya adalah hasil katrolan (nilai jelek tapi dibuat baik karena kasihan). Dan salah seorang diantara mereka ada yang membandingkan dengan anaknya yang mendapat nilai 9 di mata pelajaran IPA, Matematika, dan Bahasa Inggris. Sehingga anak yang menjuarai perlombaan renang tadi di cap sebagai anak yang bodoh.
Sesaat aku melepas jaket biruku sembari berfikir, kenapa anak itu harus dipanggil anak yang bodoh, padahal dia pernah menjuarai perlombaan renang tingkat provinsi? Dan kenapa anak sang ibu yang mendapat nilai 9 dimata pelajaran IPA, Matematika, dan bahasa inggris itu dicap sebagai anak yang pandai? Ini memang kegelisahanku sejak lama. Aku sudah muak dengan anggapan sebagian besar masyarakat saat ini.
Seorang jago fisika, akan dinilai sebagai champion, sebagai bintang kelas, dan predikat si pintar dengan sendirinya akan melekat. Sementara, siswa yang nilai keseniannya 9, dan jeblok di bidang studi yang menjadi spesialisasi Albert Einstein itu, dianggap sebagai si bodoh. Meskipun ia mampu menciptakan karya-karya seni yang spektakuler, tetap saja ia dinilai sebagai si goblok nan begok.
Aku ingin mengubah image ini. Aku ingin membuat sebuah penyadaran, pemahaman, dan pemberian motivasi dosis tinggi, yang membuat seseorang dengan bangga menyebutkan
“saya kuliah di jurusan kesenian”  
“saya kuliah di jurusan PKK, tata boga”

 Setiap orang pasti memiliki potensi didalam dirinya. Dan potensi pada manusia terdapat beberapa kecenderungan dalam bidang tertentu. Manusia adalah makhluk yang sangat unik, satu sama lain berbeda, demikian juga dengan potensi yang dimiliki. Sayangnya, pengelolaan manusia seringkali disamakan dengan mesin, alias seragam. Sistem pendidikan di negara kita misalnya, lebih menekankan pada calistung (baca-tulis-berhitung). Hanya tipe kecerdasan bahasa (word smart) dan kecerdasan logika matematika yang dikembangkan. Padahal, menurut Howard Gardner, ada 8 jenis kecerdasan sebagai berikut:
1.      Word smart – kecerdasan dalam mengelola kata
2.      Picture smart -  kecerdasan dalam mempersepsikan apa yang dilihat
3.      Music smart – kecerdasan dan kepekaan terhadap musik
4.      Logic smart – kecerdasan dalam sains dan matematika
5.      Nature smart – kecerdasan dalam mengamati alam
6.      People smart – kecerdasan dalam memahami pikiran dan perasaan orang lain
7.      Self smart – kecerdasan dalam mengenali emosi diri sendiri
8.      Body smart – kecerdasan dalam keterampilan olah tubuh dan gerak
Dalam perkembangannya para pakar menambahkan kecerdasan ke 9, yaitu kecerdasan spiritual. Namun, kecerdasan spiritual tidak termasuk kecerdasan majemuk. Karena, kecerdasan spiritual menjadi kendali dari berbagai potensi yang kita miliki agar berjalan harmonis dengan Allah sebagai pusat dari optimalisasi potensi tersebut.
Konsep kecerdasan ini mampu menerangkan, bahwa definisi cerdas sesungguhnya tak sesempit  yang kita bayangkan selama ini. Kita menganggap orang yang cerdas adalah yang kuat dalam bidang matematika, sains, atau bahasa. Sementara, orang yang memiliki bakat yang luar biasa di bidang seni dan olahraga misalnya, sering dipandang sebelah mata. Kata pintar dan bodoh diperoleh dengan asumsi-asumsi yang sangat sempit. Dan “cap” yang diberikan kepada mereka, akhirnya justru membangun mereka sebagai sosok yang senada dengan “cap”nya. Si pintar semakin “keminter” dan meremehkan orang lain. Sementara si bodoh dan si nakal, akan semakin tenggelam dalam kebodohan dan kenakalannya.
Adanya konsep kecerdasan ini menjadi dasar pemikiran bahwa setiap manusia sesungguhnya memiliki keunikan tersendiri yang berbeda satu sama lain. Kita tidak bisa mendefinisikan manusia cerdas dari asumsi yang seragam. Setiap orang akan memiliki keunggulan yang berbeda-beda bidangnya. Seorang profesor di bidang kedokteran tidak bisa mengatakan Cristiano Ronaldo sebagai orang bodoh meskipun pendidikannya tidak secemerlang sang profesor, karena Ronaldo memiliki kebintangan di bidang yang lain, yakni olahraga, khususnya sepak bola. Demikian juga, seorang sarjana matematika yang IPK-nya cum laude, tidak bisa menuding seorang gitaris yang berkali-kali mendapatkan penghargaan dari blantika musik negeri sebagai orang yang tolol, hanya gara-gara nilai matematika si gitaris itu hanya mendapat kursi terbalik alias angka empat.
Adanya dominasi bidang-bidang tertentu didunia pendidikan, seperti peng-anakemasan mata pelajaran sains, matematika, dan bahasa telah membuat seseorang dinilai cerdas hanya jika mata pelajaran tersebut diatas mendapat nilai 8,9, atau 10. Siapa yang akan menghargai seorang murid yang pelajaran olahraga dan keseniannya mendapat nilai 10,misalnya?
Bisa dibayangkan, karena adanya dominasi tersebut seorang anak SMA yang berbakat sepak bola, bisa saja meninggalkan dunianya hanya karena tak mau tidak lulus sekolah jika fisika-nya tidak bisa mencapai 5. Padahal, usaha agar fisika-nya dapat angka 5 yang ia lakukan, barangkali sama dengan ia berlatih untuk bisa menembus sebagai pemain utama tim nasional U-17. Pantas saja dunia olahraga negeri kita belum banyak melahirkan bintang-bintang kelas dunia.
Maka dari itu memanfaatkan potensi dalam diri sangatlah penting. Jika seseorang mampu memanfaatkannya dengan baik dan tepat maka ia akan menjadi si “pemenang”, dan jika seseorang tidak mampu memanfaatkan potensinya bahkan membiarkannya, mau tidak mau dia akan menjadi si “pecundang”. Mungkin perkataan Stephen R. Covey bisa di jadikan bahan renungan, “orang yang tidak efektif, hidup dari hari ke hari dengan potensi yang tak termanfaatkan.”
Dan ketidakefektifan hidup, seringkali menjadi beban tersendiri, yang membuat kita seakan-akan hidup dalam genangan kesulitan. Kita mengalami banyak masalah, namun tak pernah sekalipun, mendata masalah tersebut, merasionalkan dan mencoba mengakumulasi berbagai solusi yang mungkin bisa mengatasi masalah tersebut. Bahkan bisa jadi, kita adalah masalah itu sendiri. Kalaupun daftar solusi sudah kita miliki, bisa jadi kita enggan untuk mengaplikasikannya dalam wujud laku yang nyata.
Ketidaktermanfaatkannya potensi adalah problem serius yang akan membayangi kehidupan seorang manusia. Dia akan terjebak dalam kubangan apatisme, yang membuat hari-harinya terasa suram. Ia hidup tanpa target, padahal targetlah yang membuat hidup penuh warna, penuh inspirasi, penuh geliat, penuh gairah dan semangat.
Orang-orang yang mengasah potensinya, lantas mengaplikasikannya, dan senantiasa menajamkannya, serta mencharge ketika raga pemilik potensi itu mengalami low bat alias kejenuhan, akan memandang dirinya sebagai subjek, bukan objek. Ketika dunia, yang merupakan objek dalam pandangan mereka mengalami suatu hal yang tak sesuai dengan yang mereka inginkan, maka dengan penuh semangat, mereka akan mengubah keadaan. Dan jika mereka tidak sanggup merubahnya, maka mereka akan merubah cara pandang mereka akan objek tersebut, sehingga terciptalah sinkronisasi. Alangkah berbahagianya, karena hidup mereka benar-benar menjadi hidup.
Sementara, manusia-manusia yang menjalani hidup dengan mengabaikan kekuatan yang sebenarnya mereka miliki, akan menjadikan dirinya sebagai objek dan dunialah subjeknya. Ia hanya menurut saja ketika dunia mengombang-ambingkanya. Dan ia akan menikmati posisinya sebagai korban membiarkan dirinya berkubang dalam keterpurukan atas nama sebuah ketawakalan. Padahal menurut Rasulallah, “ikatlah keledaimu, dan bertawakallah.....”
Artinya, berusahalah sekuat kemampuanmu dan baru setelah ikhtiar kita sempurna, kita bertawakal kepada Allah akan hasilnya. Jadi, bagaimana kita bisa menjadi subjek dari sebuah peradaban?
Oke akan kuberitahu...! “Mulai dari merubah paradigma. Merubah cara berfikir kita. The world we have created is product of our way of thinking. Oleh karenanya mari kita terapkan 3 langkah sederhana ini. Think big, start small, act now! Berpikir besar, mulai dari yang sederhana, dan lakukan sekarang juga!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar